Insentif pembinaan Wartawan.

Diakui atau tidak di beberapa Daerah Kabupaten, terutama di Kalimantan Selatan, para Wartawan yang bertugas di daerah memperoleh uang insentif dari pihak Pemkab setempat. Uang ini dikamuflasekan sebagai dana pembinaan kepada para Wartawan yang diberikan setiap bulan. Di kalangan para Wartawan sendiri uang pembinaan ini dikenal dengan sebutan insentif. Dana pembinaan yang besarnya ratusan ribu rupiah ini oleh Pemkab setempat melalui Bagian Humas, dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama antara para Pelaku Pers dengan Pemkab dalam hal pemberitaan.
Adapun bentuk kerjasama tersebut berkisar antara lain media massa melalui Wartawannya diminta agar memberitakan kegiatan-kegiatan Pemkab dalam bentuk seremonial. Efek lain dari kerjasama tersebut tak menutup kemungkinan pihak Pemkab menuntut agar tak ada pemberitaan negatif seputar Pemkab. Namun meski para Wartawan menerima dana pembinaan tersebut, tak jarang muncul juga pemberitaan miring seputar Pemkab. Sebagian besar Wartawan yang menerima dana pembinaan menganggapnya sebagai take for granted alias pemberian cuma-cuma, dan ada pula yang berpendapat itu sebagai windfall (rejeki nomplok).

Bersama Kabag Humas Kabupaten Grobogan Jawa Tengah

Bersama Kabag Humas Kabupaten Grobogan Jawa Tengah

Di Kabupaten Kotabaru dana pembinaan untuk Wartawan telah dihapuskan sejak 4 tahun lalu. Di beberapa kabupaten lain pun memberlakukan hal yang sama. Mereka berpendapat bukan suatu kewajiban dari institusi pemerintah melakukan pembinaan terhadap keberadaan para Wartawan di daerah mereka. Yang berkewajiban membina para Wartawan mestinya adalah perusahaan pers berikut jajaran redaksinya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999.
Ekses negatif dari adanya dana pembinaan yang diterima para Wartawan adalah, semakin menjamurnya Wartawan yang medianya tidak jelas. Pada mulanya mereka membawa dan mempertunjukkan atribut sebagai pekerja Pers antara lain Koran, Surat Tugas dan Kartu Pers (Press Card) kepada pihak Humas Pemerintah Daerah. Setelah nama mereka tercatat dan terdaftar di Bagian Kehumasan, dan dinyatakan berhak menerima dana pembinaan setiap bulan, lama-lama tak pernah lagi muncul Koran dan pemberitaan yang menandakan eksistensi mereka sebagai Wartawan. Kebanyakan berharap setiap bulan dapat mengambil dana pembinaan yang dianggap jatah.

Dengan makin membaiknya kinerja para Aparat Pemerintah, sebenarnya tak ada yang perlu dikuatirkan jika berhadapan dengan pers. Media massa dan para Pelaku Jurnalistik bukan sesuatu momok yang perlu dikuatirkan apalagi menakutkan. Keberadaan mereka adalah sebagai mitra kerja layaknya lembaga dan institusi lainnya yang bertujuan sama membangun citra baik bangsa ini. Yang diperlukan untuk hubungan baik antara pihak Pemerintah dengan kalangan pers adalah saling bersinergi untuk menciptakan good governance dan clean government, bukan malah membuka celah kong kali kong menutupi kebobrokan dengan iming-iming dana pembinaan dan sebagainya.
Dengan adanya kesadaran dan niat baik dari pihak Pemerintah terutama di daerah untuk tak lagi memberikan dana pembinaan kepada para Wartawan, ini artinya membantu memberi peluang kepada para Wartawan untuk menemukan jati diri dan profesinya menuju profesionalisme yang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Eksistensi dan reputasi seorang Pekerja Jurnalistik bukan diukur dari seberapa besar ia dapat menghasilkan materi sehingga terlihat tampak makmur. Bukan pula berdasar dari nama besar media yang dipegangnya, tapi seberapa besar dan sejauh mana selama ini ia berkarya, yang mana segala hasil pekerjaannya itu dapat dinikmati dan berguna bagi pembaca. Karena pekerjaan seorang Wartawan hanya dapat dilihat dari pemberitaan yang diterbitkan oleh medianya. Seseorang yang tak secara berkesinambungan membuat pemberitaan di medianya mestinya punya rasa malu menyandang predikat sebagai seorang wartawan. Yang petantang petenteng membawa Kartu Pers serta peralatan kewartawanan namun tak menghasilkan karya berupa pemberitaan, tak ubah seperti Tukang foto keliling, atau layanan pembuatan video shooting.

1 comments on “Insentif pembinaan Wartawan.

  1. MENYEBUT sebuah profesi kita segera membayangkan bagaimana sosok pelaku profesi tersebut, bagaimana dia menjalani profesinya dengan baik dan benar, dan syukur-syukur kita dapat melihat atau merasakan hasil karyanya. Maka kalau ada orang yang mengaku profesi tertentu, hanya untuk gagah-gagahan dan ternyata juga melakukan tindak pelanggaran hukum atau berbuat kriminal, maka ranah hukumlah yang berbicara. Hukumannya dapat ganda. Pertama, dia mengaku profesi tertentu alias gadungan. Kedua, dia melanggar hukum.

    Wartawan adalah salah satu profesi di antara sekian banyak profesi, pekerjaan dan karya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wartawan profesional tentu terikat dan terkait dengan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), UU Pers, kebijakan redaksional lembaga pers bersangkutan, hukum yang berlaku serta tata nilai dan moral masyarakat.

    Sesuai dengan tugas pokok fungsinya, wartawan mencari informasi dari lapangan dan masyarakat, kemudian mengolah dan menyajikannya ke masyarakat melalui media masing-masing. Ada yang dengan media cetak, media elektronik, dan multi media. Selain itu, masih ada lagi wartawan khusus penerbitan pers sekolah, pers mahasiswa, pers korporat, pers komunitas. Semuanya ada legalitas, ada penanggungjawab, ada sistem dan ada produknya.

    Bagaimana halnya dengan seorang atau sekelompok orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai “wartawan”, memba­wa atribut “wartawan” (termasuk kartu pers bikinan sendiri), melakukan aksi “wawancara” kepada narasumber yang dianggap bermasalah dan dapat diperas, menerbitkan sendiri media cetaknya dalam jumlah terbatas untuk mengelabuhi masyarakat khususnya (calon) korban pemerasan? Mereka yang masuk kategori inilah yang dinamakan wartawan gadungan.

    Wartawan resmi selalu dibekali tanda pengenal dari lembaga pers bersangkutan — yang pada era Orde Baru berlegalitas SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) — dan sesuai dengan KEWI maupun kebijakan redaksional media tidak diperkenankan menerima atau meminta apa pun dari narasum­ber. Pelanggaran atas ketentuan ini saja, asalkan ada yang melaporkan dan terbukti bersalah, dapat dikenakan sanksi pemecatan dari media bersangkutan sampai pencabutan legalitas sebagai wartawan dari organisasi profesi kewartawan­an. Apalagi oknum wartawan resmi sampai melakukan pemerasan atau perampokan, pasti juga diproses secara hukum.

    Maka kalau ada seseorang yang mengaku sebagai warta­wan dan terlibat perampokan sudah jelas ranahnya adalah hukum. Oknum bersangkutan bukan bagian resmi dari keluarga besar wartawan, namun berperilaku seolah-olah seperti wartawan. Untuk meyakinkan responden atau calon korban, dia menunjukkan kartu pers bikinan sendiri (jumlahnya dapat lebih dari satu) dan koran bikinan sendiri, serta berani mem­bentak-bentak untuk menakuti orang.
    Pada Selama ini terdapat penumpang gelap yang mendompleng kemerdekaan pers di tanah air sehingga memberikan ekses terhadap citra pers yang buruk. Hal itu terlihat dari banyaknya tuntutan dan keluhan dari berbagai pihak. Inilah yang membuat Dewan Pers, sejumlah organisasi pers, tokoh pers, insan pers dan akademisi terdorong meru­muskan Standar Kompetensi Wartawan.

    Semoga kewartawanan dan dunia pers kita tetap terjaga profesionalismenya dan jangan sampai terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum
    peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2010, masyarakat pers Indonesia yang terdiri atas Dewan Pers, pimpinan organisasi media massa, ketua lembaga profesi wartawan serta para tokoh pers sepakat mengesahkan “Standar Kompetensi Wartawan” sebagai upaya meningkatkan kualitas wartawan dalam menjalankan kemerdekaan pers. Hal itu tertuang dalam lembar pengesahan Standar Kompe­tensi Wartawan (SKW) yang ditandatangani masing‑masing pimpinan organisasi pers di Gedung Dewan Pers Jakarta.

Tinggalkan komentar